Saturday, December 23, 2006

Pada Umumnya Manusia Memang Cenderung Egois (Multi-Fragmen)

Siang itu, seperti biasa aktivitas penduduk berjalan normal, apalagi jam-jam sibuk seperti ini. Kendaraan beserta orang hilir mudik bergantian menampilkan potret kehidupan masyarakat kota yang tidak ada hentinya. Masyarakat yang katanya sangat sibuk, sangat pusing, dan sangat-sangat lainnya. Kebetulan pada hari itu, hari dimana manusia sedang hilir mudik, aku menjalankan rutinitasku untuk menjamah tempat-tempat terindah: kampus, kantor, dan sebagainya. Tentunya, angkot menjadi salah satu kendaraan yang selalu menungguku; atau mungkin juga sebaliknya, akulah yang menunggu angkot.

Penuh, pikirku seketika angkot itu menepi karena aku menyetopnya.

“Ya, kirinya digeser, bisa satu lagi”, kata si sopir seolah mengerti perasaanku.

Tidak ada yang bergeser. Semua penumpang diam seperti ada lem di bangkunya. Jika ada yang bergeser, itu adalah kedua bolah matanya yang secara spontan melihat sebuah ruang kosong tepat di pojok belakang angkot.

Alhamdulillah, aku bukan manusia cacat, aku pun masih muda. Berjalan berbungkuk sebentar sambil bergumul dengan lutut para penumpang menuju ruang kosong di pojok belakang itu bukan perkara sulit bagiku.

*************

Seminar, hari itu ada seminar di kampus. Seperti biasa, sebagai tempat ilmiah, kampus menampilkan kegiatan-kegiatan ilmiah di luar kuliah dan segala macam tetek-bengek praktikum. Tampaknya, tema seminarnya sangat menarik sehingga banyak orang yang hadir; kebanyakan mahasiswa. Setelah berbusa-busa memaparkan presentasinya, para pembicara seminar bersiap-siap menerima rentetan pertanyaan. Dimulai dengan termin pertama yang terdiri dari 3 pènanya. Pènanya pertamapun maju ke mikrofon terdekat dan dengan semangat berkata:

“Pak, melihat paparan Bapak saya merasa diingatkan tentang tulisan saya tentang manfaat energi alternatif. Dulu saya juga bersama teman-teman suka mengadakan diskusi rutin.”

“Hmmm, kalau yang saya tahu, pemanfaatan energi alternatif di Indonesia itu baru mau digalakkan dan dengar-dengar Cina dan Jepang sudah siap bekerja sama.”

“Tetapi saya seringkali merasa trenyuh karena lingkungan di sekitar rumah saya kurang bisa memanfaatkan sampah. Padahal kalau diolah dengan baik, sampah pun bisa menjadi energi alternatif. Jadi sebenarnya pemerintah juga harus membangun kesadaran masyarakatnya selain kerja sama dengan negara lain.”

“Oia, saya penggemar bapak lho, dan tadi saya sangat kagum dengan presentasinya. Karena itu, saya rela bolos kuliah. Sekian saja Pak, makasih.”

“Dik dik, namanya siapa? Pertanyaannya apa?”, ujar sang MC yang ada di depan hadirin.

“Oo, eh iya ya. Nama saya Sandi dari Matematika. Pertanyaannya, hmmm....apa pendapat Bapak tentang peluang pengembangan energi alternatif di Indonesia.”, sahut si pènanya dengan lèmpèngnya.

Tampaknya si pènanya berbicara pada dirinya sendiri sehingga ia lupa akan esensi bertanya bahkan content pertanyaannya.

*************

Di ruang rapat yang ber-AC. Meskipun ber-AC tampaknya udara Jakarta yang sudah sesak dan panas ditambah kemarahan para knalpot kendaraan memberikan efek buruk pada ruang rapat ber-AC di sore hari. Meski sudah diisi dengan nasi, tetap saja, suasana pasca siang dan keiinginan untuk segera pulang semakin membuat ruangan bertambah panas. Kebetulan bosku ada rapat penting dengan gubernur dari Sumatera dan sekali lagi aku ditugaskan sebagai asisten sorot*. Hari ini topiknya koordinasi dan pembangunan wilayah pesisir di Sumatera. Satu per satu gubernur menampilkan presentasi wilayahnya. Entah hanya ada dalam pikiranku atau memang hanya halusinasiku, tampaknya para gubernur hanya berkonsentrasi saat presentasinya saja; adapun, saat mendengarkan presentasi lainnya seperti menahan rasa kantuk yang sangat.

“Dik, tolong gambar yang tadi ditampilkan kembali. Bukan, bukan yang itu, itu loh yang ada gambar Pulau Karimun Kepulauan Riau. Ya, yang itu.”, seorang asisten gubernur memintaku untuk mencari-cari gambar yang sesuai.

Akhirnya rapat ini selesai, dan tampaknya memang tidak ada yang mencatat. Tiba-tiba seperti pemboman Hiroshima dan Nagasaki dengan sekonyong-konyong para asisten gubernur menyodorkan flashdisk kepadaku.

“Dik, tolong ya kopikan file-file presentasi tadi biar bisa dipelajari sama kami.”, ujar salah seorang asisten gubernur.

Satu per satu aku masukkan file-file presentasi tadi ke dalam flashdisk.

“Maaf pak, flashdisk Bapak penuh. Tampaknya ada yang perlu dihapus”, ujarku pada salah seorang asisten gubernur.

“Wah, ga bisa ada yang dihapus. Ya sudah, ga apa-apa, seadanya saja”, sahut si asisten tanpa wajah menyesal.

Aku kembali ke ruangan dan di sana masih ada seorang office boy, Maman namanya.

“Pak, ini minumannya, Bapak kelihatan sangat lelah”, ujar Pak Maman seraya menyodorkan segelas air putih padaku.

“Makasih pak, Bapak belum pulang?”, tanyaku padanya

“Belum, menunggu Bapak rapat.”, jawabnya dengan santun

“Makasih ya Pak, maaf merepotkan. Bapak pulang saja duluan, saya mau shalat asar dahulu dan masih ada beberapa hal yang harus saya bereskan”, sahutku menimpali.

Hufff, lelah. Hmm, tapi ternyata masih ada orang yang tidak egois.

*************

Makan malam yang nikmat meskipun tampaknya sudah dimasak empat jam yang lalu. Seperti biasa aku makan malam di rumah dan seperti biasa sampai rumah saat kebanyakan orang sudah mulai tertidur.

“Aaaa, ajarin Ade PR Bahasa Inggris ya. Ade ga ngerti nih. PR nya sulit. Bisa ya ntar habis makan”, pinta adikku.

“De, Aa capek, bisa kerjain sendiri ya”, jawabku sèkènanya

Ternyata aku pun manusia yang egois.

*asisten sorot: bertugas mengoperasikan laptop dan LCD dalam rapat khususnya saat presentasi

Pojok Jabodetabek

Indonesia dan Qatar


Apa hubungan Indonesia dengan Qatar? Tidak ada hubungan yang sangat-sangat erat antarkeduanya se-erat panasnya Indonesia-Israel atau se-erat hubungan ‘kawin kontrak’ Indonesia-Amerika Serikat.

Sejenak jika menengok balik pada Piala Asia (sepakbola) tahun 2004, tim nasional Indonesia yang saat itu dilatih oleh Ivan Venkov Kolev menghempaskan tim nasional Qatar 2-1 lewat gol yang dilesakkan oleh Budi Sudarsono dan Ponaryo Astaman. Asia tersentak, karena pada waktu itu Qatar diunggulkan dan pelatih mereka adalah seorang yang sudah mempunyai nama besar, Philippe Trousier si Dukun Putih dari Perancis. Saat itu juga, Philippe Troussier mundur karena kekalahan yang sangat memalukan. Kamp pelatihan timnas Indonesia yang tadinya sepi wartawan, sontak menjadi rebutan para kuli tinta. Pertanyaan pun mengalir seputar pertandingan berikutnya (melawan Cina dan Bahrain). Cina pun sempat dibuat angkat bicara tentang timnas Indonesia pasca kemenangan yang mengguncang tersebut. Begini kata sang Negeri Tirai Bambu: “kami pikir tim nasional Indonesia sudah mengalami kemajuan dibandingkan saat kami terakhir melawannya (di Pra-Piala Dunia 2002) dan kami patut waspada”. Pujian yang luar biasa mengingat prestasi persepakbolaan Cina di Asia selama ini.

Tetapi fakta berbicara lain, Indonesia tetap seperti orang yang baru belajar main bola di hadapan pemain Cina, bukan karena skill individunya yang terlampau jauh tetapi lebih kepada gap mental antarkedua tim yang sangat mencolok. Di awal pertandingan, kedua tim berimbang. Mental, inilah yang kemudian menjadi permasalahan utama. Bukan hanya mental saat pertandingan, tetapi juga mental untuk menjadi lebih baik lagi.

Salah satu omongan yang membuktikan bahwa timnas Indonesia tidak mempunyai mental kemenangan adalah ucapan Bambang Pamungkas (striker timnas saat itu). Seorang wartawan tabloid olahraga menanyakan kepada Bambang perihal jadwal pernikahannya yang jatuh tepat pada hari digelarnya final Piala Asia 2004. Kata Bambang: “Saya memilih hari pernikahan tepat di hari diselenggarkannya final Piala Asia karena saya tahu Indonesia tidak mungkin lolos ke final Piala Asia”.

Maaf, jangan berbicara kemenangan jika niat kesana pun tidak ada. Pada akhirnya memang Indonesia tidak ‘jadi’ lolos ke babak berikutnya.

Berbicara pada isyu paling aktual tentang Qatar tentunya berbicara tentang Asian Games Doha (Qatar) 2006 yang baru saja ditutup. Acara yang menurut kalangan menampilkan opening terbaik, lebih baik dari Olimpiade Sydney yang lalu.

Berbeda dengan pertandingan sepakbola Indonesia-Qatar yang berakhir 2-1, Indonesia-Qatar jilid II berakhir dengan skor 22 alias Indonesia bercokol di peringkat 22. Tidak ada sentakan publik yang muncul selain nada-nada sumbang.

Dibandingkan dengan sahabatnya di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) Indonesia berada di peringkat ke-6 di bawah Thailand (5), Malaysia (11), Singapura (12), Filipina (18), dan Vietnam (19). Sangat ironis memang jika melihat hegemoni olah raga Indonesia di ASEAN yang hampir selalu (kecuali pada 8 tahun terakhir) menjadi maha raja diraja bersama Thailand.

Indonesia sudah menjadi negara terkorup ke-4 di dunia, apakah Indonesia juga menjadi negara yang paling tidak sehat (jasmaniah) berkaca pada prestasi olah raganya. Kata Farid Poniman dkk dari Kubik Training & Consultancy (dalam bukunya Kubik Leadership), manusia itu membutuhkan 3 (tiga) tingkat kerja, yakni: kerja keras, cerdas, dan ikhlas. Kerja keras harus dilakukan terlebih dahulu sebelum kerja cerdas dan ikhlas. Kerja keras adalah bentuk usaha yang terarah dalam mendapatkan sebuah hasil, dengan menggunakan energinya sendiri sebagai input (modal kerja). Salah satu syarat kerja keras adalah jasmani yang sehat, dan pada saat ini prestasi olah raga Indonesia tidak mencerminkan itu. Bahayanya, tidak optimalnya kerja keras akan mengakibatkan ketidakoptimalan 2 (dua) kerja berikutnya.

Kerja cerdas sendiri didefinisikan sebagai bentuk usaha terarah dalam mendapatkan sebuah hasil dengan menggunakan mesin kecerdasan sebagai daya ungkit prestasinya. Kata Farid Poniman dkk, boleh jadi seseorang itu cerdas tetapi dia tidak bisa bekerja cerdas. Orang cerdas adalah orang yang salah satu belahan otaknya bekerja lebih baik dibandingkan dengan belahan otak yang sama pada kebanyakan orang. Sedangkan orang yang bekerja cerdas adalah yang mampu mempraktikan salah satu kecerdasannya dalam pekerjaan yang sedang ditangani sehingga menghasilkan kualitas kerja yang lebih baik. Dicontohkannya, kalau seseorang selalu membawa segudang alasan kegagalan, maka kecerdasannya dipakai untuk mencari-cari alasan yang sesuai, dan tidak dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan. Bagaimana dengan insan olah raga nasional? Tampaknya kecerdasannya terlalu banyak dipakai untuk mencari alasan-alasan yang sesuai. Jikapun introspeksi, introspeksi yang dilakukan hanya sesaat setelah kegagalan terjadi, setelah itu hilang bak ditelan bumi.

Adapun kerja ikhlas adalah bentuk usaha terarah dalam mendapatkan sebuah hasil dengan menggunakan kesucian hati sebagai manifestasi kemulian dirinya. Jangan dulu sekarang berbicara kerja ikhlas sebelum kedua kerja sebelumnya (kerja keras dan cerdas) dapat terwujudkan dengan baik. Secara singkat belum terwujudnya kerja ikhlas ini jika dibicarakan dalam konteks olah raga nasional adalah belum terwujudnya insan olah raga yang mengatakan: “Saya salah, saya siap bertanggung jawab dan akan berusaha untuk menjadi lebih baik”.

Berbicara budaya, budaya instan pun merambah ke dunia olah raga nasional. Sebelum adanya isyu impor pemain muda Brasil menjadi pemain tim nasional sepakbola Indonesia masa depan, pelatihan timnas U-23 di Belanda yang berlangsung selama 6 bulan pun disebut oleh Foppe De Haan (yang menjadi supervisor timnas Indonesia U-23 selama di Belanda dan Qatar) sebagai budaya instan. Ia menambahkan bahwa dengan target yang sama, De Haan melakukannya bersama timnas Belanda U-21 dan U-23 selama beberapa tahun, bukan 6 bulan.

Pada akhirnya memang, timnas Indonesia U-23 tidak lolos ke babak utama Asian Games Doha 2006 dan dalam babak penyisihan digebuk dengan angka telak kecuali oleh Singapura. Setelah 2 (dua) pertandingan awal yang mencengangkan itu, De Haan mengatakan bahwa wajah pemain timnas Indonesia U-23 tampak sangat gugup. Sekali lagi, mental pemain masih perlu diasah. Baik, inilah salah satu contoh cabang olah raga Indonesia yang belum berprestasi di Asian Games kali ini.

Seperti diketahui bersama, keberangkatan timnas sepakbola Indonesia U-23 menimbulkan pro dan kontra terutama masalah perbedaan kutub antara biaya yang dikeluarkan dan prestasi yang dihasilkan.

Menarik menyimak pernyataan Menegpora Adhyaksa Dault yang menyatakan perlu dibuatnya sistem pembinaan olah raga yang sistematis dan perlunya pengurangan ‘fanatisme’ pembinaan berlebihan pada sepak bola di daerah. Seperti diketahui sepakbola di daerah selama ini menguras APBD dan tentunya menghasilkan trade-off pada pembinaan olah raga potensial lainnya di daerah. Olah raga lainnya perlu mendapatkan tempat lebih wajar sehingga tidak hanya menjadi anak tiri untuk bisa berprestasi. Masih ingat pernyataan Oka Sulaksana, atlet selancar angin, (sebelum keberangkatan ke Qatar) bahwa dana yang diberikan untuk persiapannya sangat minim. Ia pun harus merogoh koceknya sendiri untuk membeli beberapa peralatan penting lainnya yang notabene tidak murah. Padahal, ia ditargetkan untuk mendulang medali emas pada nomor andalannya karena prestasinya selama dua Asian Games terakhir sangat mengagumkan (mendapat medali emas secara beruntun). Sepertinya, alasan kekurangtersediaannya dana tidak bisa menjadi alasan utama jikalau masih saja ada peng-anakemas-an sebuah olah raga tertentu.

Baru-baru ini Komisi X DPR RI akan memanggil Menegpora dan Ketua Umum KONI Pusat sehubungan dengan kegagalan Indonesia di pentas Asian Games Doha 2006. Secara terbuka Menegpora dan Ketua Umum KONI Pusat telah menyatakan kegagalan Indonesia dalam event 4 (empat) tahunan ini. Memang, semua stakeholders harus dilibatkan untuk membina olah raga nasional. Masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah pusat saja, tetapi juga oleh segenap pecinta olah raga, pengusaha, pemerintah daerah, dan stakeholders lainnya.

Keterpurukan Indonesia di bidang olah raga tentunya akan mempengaruhi image Indonesia di mata internasional. Ibarat perusahaan, perusahaan yang memiliki brand image baik tentunya mempunyai daya tarik tersendiri dan yang pasti kepercayaan dari dalam maupun luar negeri. Meminjam istilah Frank Riboud (CEO Groupe Danone saat ini): “Danone must not only be a TRADEMARK but also a TRUSTMARK”. Atau seperti yang dikatakan oleh Marc Gobé dalam bukunya Emotional Branding: The New Paradigm for Connecting Brands to People dalam 1 dari 10 Commandements of Emotional Branding disebutkan bahwa harus ada perubahan paradigma dari honesty (kejujuran) ke trust (kepercayaan). Kepercayaan sangat penting harganya dan lebih sulit dari sekedar jujur.

Semoga, introspeksi kali ini akan memunculkan kejujuran-kejujuran dari setiap insan olah raga yang tidak akan lagi hilang ditelan bumi. Kemudian, pada saatnya nanti akan menimbulkan kepercayaan. Pada akhirnya, Indonesia membutuhkan satu visi olah raga yang jelas sehingga setiap stekeholders berjalan di atas rel yang sama dan tidak ada lagi olah raga yang menjadi anak tiri. Semoga warga Indonesia bisa menjadi insan yang sehat sehingga bisa bekerja lebih keras, cerdas, dan ikhlas.

Saturday, December 16, 2006

Galuh, Kapan Nikah?

Eits, ini bukan konferensi pers tentang pernikahan saya apalagi tentang jadwal, calon, dan sebagainya.

Ini adalah pertanyaan yang paling sering saya dengar sekarang-sekarang ini yang ditujukan langsung kepada saya. Topik yang kata seorang sahabat saya disebut sebagai racun apabila dibicarakan oleh orang yang belum berkepala dua. Kata sahabat saya satu lagi, ini adalah topik yang tidak konkrit untuk dibicarakan panjang lebar. Pada akhirnya saya pun akan mengatakan ’setuju’ dengan pendapat mereka.

Mengapa ya kecenderungan sahabat-sahabat saya (laki-laki) sering menanyakan ini kepada saya (saat sedang bertemu)? Ada yang mungkin bercanda karena tidak ada topik lain, atau memang serius karena takut saingan dengan orang yang sama (ada-ada saja). Ada yang malah dengan terang-terangan menyebut nama; aduh memangnya barang, pakai disebut-sebut segala.

Saya berusaha memahami bahwa memang usia ini sudah tidak lagi remaja apalagi anak-anak. Beberapa sahabat saya seangkatan setua umur ini (terutama yang putri) memang sudah melakukan prosesi ijab kabul suci ini. Nikah sendiri pun sampai-sampai disebut sebagai penggenap dien (Islam). Atau dalam bahasa kerennya: menjadikan sang sabit menjadi bulan purnama (saya pikir ini adalah metaforma yang indah dalam konteks penyempurnaan). Tentunya, topik ini bukan topik main-main yang bisa dilakukan dengan seenaknya.

Saya sendiri...hummh, terlalu banyak banyak pembenaran yang ada di kepala ini sehingga perlu banyak-banyak membaca istighfar. Satu lagi yang membuat saya kurang merespon dengan pertanyaan-pertanyaan ini adalah karena banyak pertanyaan usil yang terlalu dibuat sederhana. Masalah pernikahan toh bukanlah masalah yang terjadi antara dua insan adam hawa saja tetapi menyangkut seluruh aspek silaturahim: keluarga keduanya. Kesulitan yang seringkali terjadi adalah bagaimana mengkomunikasikannya dengan kedua keluarga.

Kalau sudah sama-sama seiya sekata, tentunya akan lebih mudah. Kalau dari satu pihak masih ada yang ‘kekeuh’ dengan hal-hal lain (misal budaya, kekayaan, dan sebagainya) tentunya akan menambah rentetan penundaan pernikahan.

Saya seringkali menjawab pertanyaan tersebut dengan: “doakan saja, semoga disegerakan”. Ada yang balas tersenyum, ada yang balas dengan:”doa melulu, kapan ikhtiarnya”. Ada juga yang bilang: “sama dia saja, cocok kayaknya”. Lagi-lagi nyebut nama.

Pada akhirnya ada dua orang yang membuat saya terkesan, kedua sahabat saya ini usianya lebih muda dari saya dan kebetulan menanyakan pertanyaan yang sama. Hanya respon keduanya terhadap jawaban saya berbeda dari sahabat-sahabat saya yang lain. Responnya adalah sebuah nasihat panjang tentang kebaikan saya untuk segera menikah yang membuat jantung saya berdetak lebih cepat. Jikalau nasihatnya lebih panjang, mungkin saya sudah menangis. Tentu, itu bukanlah sebuah nasihat sembarangan, apalagi motivasi ngacau. Ya itu bukanlah motivasi ngacau yang telah membuat banyak orang tidak mempunyai topik bahasan renyah selain nikah.

Soulmate (belahan jiwa), itulah yang saya inginkan, bukan hanya sosok seorang teman hidup atau sekedar istri saja. Teringat film “Good Will Hunting”, dalam sebuah dialog, seorang profesor psikologi menasehati Will Hunting (pasiennya):

Prof: “Mengapa kau tidak menyatakan (menikah) pada dia?”

Will: “Aku tidak punya cukup keberanian, di mataku ia adalah sempurna. Adapun aku...aku sangat tidak sempurna.

Prof: “Will...tidak ada orang yang sempurna, begitu pun dirinya. Kau sajalah yang berpikir dia terlalu sempurna bagimu. Mungkin dia pun berpikiran sama padamu. Justru dengan ketidaksempurnaanmu dan ketidaksempurnaannya yang bersatu akan menjadi sebuah kesempurnaan.”

Will: (terdiam)

Allah memang menciptakan segala sesuatu beserta soulmate-nya seperti yang tertulis dalam firman-Nya:

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah (QS Adz Dzariyat 51: 49)

Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang memikirkan (QS Az Zukhruf 43: 12)

dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan (QS An Naba` 78: 8)

dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita (QS An Najm 53: 45)

Soulmate, bagi manusia, dia tidak akan pernah mati secara emosional. Begitu pun ketika sang manusia agung, Rasulullah Muhammad SAW kehilangan sang Khadijah.

Lalu kapan saya akan menikah? Pada akhirnya inilah saya, semoga sahabat bisa menatap mata saya lebih dalam tentang siapa dan apa yang ada di dalam hati saya.

Semua kisah pasti ada akhir yang harus dilalui

Begitu juga akhir kisah ini, yakinku indah

Mencoba bertahan sekuat hati

layaknya karang yang dihempaskan ombak

Jalani hidup dalam buai belaka

serahkan cinta tulus di dalam takdir

Tapi sampai kapankah ku harus menanaggungnya

kutukan cinta ini bersemayam dalam kalbu

Manusia Bodoh (ADA Band)

Friday, December 01, 2006

Dimanakah Posisi Guru? (Bagian 2 dari 2 Bagian)

Pendidikan dasar dan menengah memang berat, siswa diharuskan mengetahui semua ilmu dasar yang ada di bumi ini. Kalau bisa dibilang, siswa Indonesia merupakan salah satu yang banyak tahu tentang ilmu dasar. Tidak heran, banyak siswa SD yang akhirnya menjadi terlalu serius di usianya yang seharusnya menjadi usia untuk bermain sambil belajar. Untuk guru SD, yang kebanyakan sekolah di Indonesia mempunyai 1 orang guru di kelas, tentunya menguasai keseluruhan ilmu dasar untuk diajarkan kepada anak didiknya merupakan tugas yang berat.
Tugas ini menjadi semakin berat dengan tidak didukungnya penghargaan yang layak kepada guru dari pemerintah. Tidak heran, dari guru SD sampai SMA ada yang memberikan les privat di luar jam sekolah untuk mendapatkan penghasilan tambahan atau agar peserta didik dapat mengerti lebih baik.
Namun, tidak sedikit guru yang akhirnya menjadikan tugasnya sebagai totalitas pengorbanan. Pernah melihat film ‘GIE’? Dalam sebuah adegan di film tersebut, Gie terlibat diskusi hebat dengan gurunya dan pada akhirnya berujung pada ketidaksepakatan Gie pada gurunya. Pada saat ujian, Gie merasa dikerjai oleh gurunya dan kemudian mengadu kepada kepala sekolah. Karena respon yang didapat tidak sesuai, Gie ingin memberi pelajaran bagi sang guru tersebut. Diam-diam Gie dan sahabat karibnya mengikuti sang guru yang sedang menuju perjalanan pulang ke rumahnya untuk memberikan pelajaran. Tetapi pada akhirnya, ia mengurungkan niatnya karena ternyata sesampai gurunya di rumah, sang guru disambut hangat oleh anaknya yang masih kecil di sebuah gubuk yang reot. “Ironis, nasib guru ini. Di sekolah tampak begitu keras dan sangar, di rumah tampak sebagai seorang pejuang keluarga yang sangat sederhana. Bagaimana aku bisa memberikan pembalasan padanya, padahal ia sendiri adalah seorang pahlawan”, begitulah kira-kira kata Gie dalam hati di film tersebut.
Jika mau jujur, berapa banyak orang yang akan memilih menjadi guru di negeri ini sebagai pilihan pertama profesinya? Dengan melihat tingkat kesejahteraan yang didapatkan dan kewajiban yang diberikan, tampaknya hanya segelintir orang yang mau dengan ikhlas menjadi seorang guru.
Tuntutan pemerintah untuk menaikkan HDI (human development index) manusia Indonesia tidak hanya terletak pada peningkatan mutu perguruan tinggi, tapi juga pada mutu pendidikan dasar yang dimulai dari SD. Tanpa pembentukan anak Indonesia yang berpendidikan, tentunya tidak akan menghasilkan input bagi SDM perguruan tinggi yang berkualitas.
Ada lagi isyu yang hangat dan pernah dilontarkan pemerintah yaitu bahwa jumlah guru yang dirasa masih kurang. Namun, di lain sisi pengangkatan guru untuk menjadi pegawai negeri merupakan perkara yang sulit. Hal ini diperparah dengan mengangkat guru kontrakan sebagai jalan keluarnya. Mau tahu gaji seorang guru kontrakan? Jangan kaget! Rp 5.000,- per jamnya. Para mahasiswa ITB saja jika memberikan les privat adalah minimal sebesar Rp 20.000,- per 2 jam. Anda tentunya bisa membayangkan, akan makan apa dengan penghasilan seperti itu.
Tidak heran, banyak terjadi demonstrasi menuntut kejelasan status guru kontrakan akhir-akhir ini. Karena guru pun manusia yang mempunyai keluarga untuk dihidupi. Jika Anda bilang, guru tidak pantas berdemo. Apakah Anda akan berani bilang bahwa guru tidak pantas hidup? Guru berdemo hanya sekedar memperjuangkan haknya yang paling dasar-hak untuk tetap bertahan hidup.
Baiklah, bila pemerintah masih dalam tahap merancang bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus kesejahteraan guru; Harian Umum Republika dan PT Telkom Tbk melalui CSR (coorporate social responbility) sudah melakukan usaha konkrit untuk meningkatkan kapasitas guru melalui pelatihan-pelatihannya. Pelatihan-pelatihan yang diharapkan mampu meningkatkan kapasitas keseluruhan seorang guru (pada tulisan sebelumnya, disebutkan bahwa kapasitas akademik guru sudah dibatasi). Guru bukan hanya milik pemerintah, tetapi juga milik sektor swasta; karena para pengusaha pun lahir dari seorang guru. Oleh karena itu, inisiatif yang telah dimulai, sekiranya perlu diikuti oleh pihak swasta lainnya. Jika seorang siswa sudah menjadi seorang engineer, dokter, pengusaha, atau bahkan presiden. Guru tetaplah menjadi seorang guru. Maka, memang layaklah ia disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.