Monday, May 08, 2006

Refleksi Monolog Kabinet KM ITB


Sesuatu itu akan besar apabila dari awal sudah dipandang besar; akan tetap kecil apabila selalu dianggap kecil.
Banyak orang tertipu akan kenyamanan sebuah fasilitas organisasi, padahal orang-orang dalam organisasi itulah yang membuatnya nyaman bukan organisasinya. Sedangkan kita adalah bagian dari organisasi tersebut yang mau tidak mau, kita turut menentukan kenyamanan tersebut.
Kadangkali kita harus bilang iya meskipun mayoritas berkata tidak jikalau kita yakin benar apa yang kita bawa.
Banyak orang menunggu perintah, padahal PR masih banyak; kalau kita lebih paham kondisinya, kenapa kita tidak mengambil inisiatif untuk bergerak, toh kita masih mempunyai banyak teman untuk sama-sama bergerak. Kalau tidak sekarang, kapan lagi; kalau bukan kita, siapa lagi yang akan memulai.
Banyak orang mengira bahwa dirinya tidak diperhatikan; ternyata, orang di sekeliling kita pun merasa sulit untuk bisa memperhatikan dirinya sendiri apalagi orang lain. Toh besarnya perhatian yang kita inginkan dari orang lain berbanding lurus dengan perhatian yang kita berikan kepada orang lain.
Kebahagian sejati tidak terletak pada bahagia atau tidaknya kita, tetapi bagaimana orang-orang di sekeliling kita bisa turut merasakannya.
Orang bilang kabinet eksklusif, ternyata memang tidak seluruhnya salah. Masih banyak orang yang memanfaatkannya hanya sebagai fasilitas berkegiatan tanpa pernah memandangnya sebagai rumahnya. Benar begitu kata orang, kalau tuan rumahnya pun tidak merasa memiliki untuk memelihara rumahnya, mana mungkin para tamunya merasa dihargai.
Banyak orang bilang, kita berhasil dengan banyaknya kegiatan. Pernyataan ini tidak salah benar, hanya intinya seberapa jauhkan kegiatan tersebut bisa bermanfaat secara proses dan outcome. Meskipun di satu sisi, masih banyak mahasiswa yang menjadi pengamat sejati: kritik sana-sini tanpa pernah mau terlibat di dalamnya, atau memang masih banyak yang berbeda dunia.
Orang tidak bisa selamanya plekmatis dan dianggap benar di semua pihak, karena setiap orang punya prinsip yang terkadang harus dipertahankan.
Argumen itu basi bila hanya mengandalkan nalar karena potensi nala, nilai, dan nurani merupakan dasar yang tidak bisa dikesampingkan.
Pada akhirnya semua aktivitas itu berujung kepada satu pertanyaan: sudahkah ia bernilai sebagai ibadah?