Sunday, January 21, 2007

Berhenti Sejenak

Karena berbagai kepenatan yang timbul, saya berhenti sejenak dari dunia tulis menulis dan blog ini juga. Lagi pengen sendiri. Ga tahu kapan bisa muncul lagi. Moga secepatnya

Wednesday, January 10, 2007

Nasi Tim, Potong Rambut, dan Resolusi 2007

Apa hubungan antara nasi tim dengan potong rambut dan resolusi 2007. Ada! Meski terkesan dibuat-buat, tapi bagi saya hubungannya nyata.

Ceritanya begini..

Jumat itu tanggal 5 Januari 2007, saya bersama 4 (empat) rekan dari Manajemen Bisnis IPB hendak menghadiri acara welcoming dinner di Hotel Alia Cikini (depan Taman Ismail Marzuki). Pagi harinya, kami ribut-ribut membahas sebuah permasalahan dan sebagainya sampai saat jumatan. Dikarenakan sampai hotel harus jam 18.00 WIB maka kami memutuskan untuk keluar dari Bogor maksimal jam 14.30, mengingat hari Jumat dan kemungkinan macet di Jakarta pada jam-jam sibuk sangat besar.

Sebenarnya di kampus ada kantin yang biasa dijamahi para mahasiswa. Tetapi karena pengalaman kurang menyenangkan yang menimpa saya di kantin tersebut menyangkut masalah kecocokan harga, akhirnya kami memutuskan untuk makan siang di luar sebelum keluar Bogor. Akhirnya dipilih sebuah tempat makan yang kata teman-teman menjadi tempat kongkow yang biasa dikunjungi. Melihat menu dan kecocokan harga, akhirnya saya memilih nasi tim.

Sebenarnya bukan karena harganya saja yang relatif paling murah, tapi setahu saya, inilah pertama kali dalam hidup, saya memakan nasi tim. Mungkin terdengar berlebihan, hanya seinget saya seperti itu. Jikalau saya lupa, mungkin ini yang kedua atau ketiga kalinya sejak TK, mungkin. Saya sudah tidak ingat betul. Yang pasti, menu nasional ini masih asing di lidah saya. Sebagai catatan, seumur-umur, saya makan makanan nasional yang normal dari tempe, tahu, sampai nasi kelapa garam. Jadi memang sedikit keterlaluan jika nasi tim terlewatkan.

Karena tempat makannya kecil, jarak antarmeja juga sempit. Pada sebuah momen tertentu, ada seorang cewek nyeletuk: ”Maaf mbak permisi”. Bukan pada kalimatnya saya merasa tidak enak, tetapi karena kalimat itu saya pikir ditujukan kepada saya karena duduk saya memang menghalangi dia untuk duduk. So, ada yang salah dengan penglihatan orang jika melihat saya dari belakang. Ya! Rambut sudang panjang, kayak cewek saja. Dikuncir juga bisa.

Saya pikir, saya belum mempunyai resolusi konkrit untuk tahun 2007. Akhirnya saya putuskan, potong rambut sebagai resolusi konkrit pertama di tahun 2007. Tempat potong? Biasa, langganan di Pasar Bogor.

Akhirnya nasi tim datang. Bentuknya yang coklat mengkilap ditambah kuah dan pangsit goreng membuat selera makan bertambah. Untuk minuman? Biasa, teh tawar tanpa gula. Kata para ahli kesehatan, dengan meminum teh tanpa gula 2x sehari dapat mengurangi resiko terkena penyakit jantung sebesar 67%. Akhirnya kebiasaan ini saya rutinkan sejak september lalu.

Rasa nasi tim-nya? Mengambil istilah Pak Bondan: ”Mak nyus, rasanya nendang”. Ini to yang dinamakan nasi tim. Akhirnya saya terbebas dari kata kuper menyangkut masalah ini. Baru setelah acara makan beres, kami berangkat ke Jakarta.

Bismillah, dengan kecepatan ala jalan tol sisi paling kanan akhirnya sampai juga ke Jakarta dan keluar dari pintu Cempaka Mas. Belum keluar betul dari jalan tol, ternyata kemacetan sudah terjadi, persis seperti yang diduga. Akhirnya sampai juga ke hotel jam 16.00 WIB dan langsung mencari tempat shalat. Ternyata di hotel tidak ada mushala, tetapi masjid. Hotel yang mungil lucu ini ternyata mempunyai masjid di lantai 1. Disebut masjid karena luasnya relatif besar dan biasa digunakan untuk shalat jumat.

Sembari menunggu jam 18.00 datang, kami berlima menyeberang jalan untuk melihat-lihat TIM sambil potret-potret. Keluar semua gaya di sana. Biasanya di TIM ada pertunjukkan di dalam, tetapi sayang kami telat sekian menit dari jam 16.30. Akhirnya kami hanya keliling, keliling, dan keliling. Karena salah satu rekan merasa penat, kami putuskan untuk kembali ke hotel yang berudara lebih sejuk.

Ternyata di sana sudah ada para pesaing kami dari ITB, UI, dan Prasetya Mulya BS. Seharusnya masih ada lagi tim dari Unair, dan UGM yang mungkin masih pada mendekam di kamar. Tidak lama kemudian, tim IPB lainnya berdatangan. Habis itu teman saya nyeletuk: ”Gara-gara loe berdua wajah tim kita jadi tua”. Kalimat ini ditujukan pada saya dan rekan saya satunya. Tampaknya resolusi 2007 perlu segera dikonkritkan besok sabtu. Hal ini ditambah dengan salah satu anak Prasetya Mulya BS: ”Tampang anak IPB pintar-pintar”, dengan melirik pada saya. Iya, dasar gondrong, kusut, kayak profesor kutu buku saja, gumam saya. Oia kelupaan, saya juga bertemu saingan dari ITB dan kami saling berkenal-kenalan. Sebagai bekas almamater, basa-basinya cukup panjang. Bukan basa-basi sebenarnya tetapi lebih kepada in memorian.

Acara memang dimulai pukul 18.00 WIB kurang, tentunya ada break shalat magrib. Cerita belum berhenti, karena ternyata kami disuguhi kue yang menurut saya, seumur-umur inilah kue mungil terenak yang pernah saya makan. Oalah, dasar anak desa, ga tahu kue-kue gituan. Rasanya memang enak, pas coklatnya, pas rasanya. Setelah sang project leader-nya berbusa-busa nerangin teknis lomba hari minggunya, kami dipersilakan makan malam. Karena saya harus ke depan, maka pengambilan makanan saya serahkan ke teman (mengantisipasi habisnya makanan oleh serbuan makhluk-makhluk kelaparan). Begitu urusan di depan beres, saya menyusul ke tempat makan. Teman saya yang telah berbaik hati mengambil makanan tenyata mengambil porsi yang sangat besar. Ketika duduk, saya menyeletuk sama dia: ”Nik, ngambilnya banyak sekali. Badan saya memang besar, tapi makan saya ga banyak, malah sama kayak kamu yang cewek dan kurus”. Alhamdulillah habis juga ayam dua potong ditambah nasi dua gunung dan berbagai aksesoris lainnya.

Selepas shalat isya, kami akhirnya meninggalkan hotel pukul 10 malam.

Cerita selesai...

Pojok Jadebotabek

Friday, January 05, 2007

Aaah.....Sudah 2007

Jujur saja saya bingung. Lah wong ganti tahun kok sampai kayak menang perang saja. Semua orang tumpah ruah membuat semutan manusia.

Habis itu apa? Nihil. Panas-panas tahi ayam, paling-paling bingung lagi.

Umur tambah pendek malah senang, beda angka saja malah ribut. Cuma ganti 6 ke 7. Pun umur yang sudah disediakan oleh Allah menjadi berkurang lagi.

Semua butuh momentum dan momentum butuh aksi dan aksi butuh reaksi. Di dunia dengan 5 pulau besar ini, momentum bukan berasal dari hukum fisika tetapi dari filisofi entah filosofi kopi atau yang lainnya.Yang pasti, momentum 2007 butuh aksi dan reaksi menuju perubahan yang lebih baik.

Filosofi menjadi usang jika hanya berkutat di wacana. Terlalu banyak pengamat, terlalu banyak pahlawan mulut. Pada akhirnya, saya juga tidak mau terlarut dalam wacana filosofis tanpa solusi.

Negara ini patut bangga pada Nelson Tansu, Tri Mumpuni, Hidayat Nur Wahid, I Gede Winarsa, Andri Wongso, dan semua orang konkrit Indonesia yang berkeliaran di jagat ''The Earth''.

Untuk semua yang telah rela meluangkan waktunya membaca tulisan ini:
SELAMAT TAHUN BARU MAHESI 2007

Monday, January 01, 2007

Gerakan Syahwat Merdeka

Sore ini, seperti biasa, Jakarta menyengat panas. Wajah-wajah kuyu para pekerja menambah rautan panasnya Ibukota Indonesia. Tanah yang kata banyak orang kampung adalah syurga pekerjaan. Nyatanya tentu berbeda; bagi yang bermodal nekat, Jakarta bukanlah seorang sahabat karib.

Sore ini adalah hari Rabu tanggal 20 Desember 2006. Bagi sebagian orang, tampaknya hari ini bukan hari yang spesial. Bagi sebagian orang lainnya, hari ini adalah hari yang spesial karena hari dilangsungkannya Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards 2006 di Balai Sidang Jakarta. Bagi aku, hari ini spesial, tetapi bukan karena AMI Awards. Ada satu acara lagi yang hilang dari hingar-bingar publik, yaitu Akademi Jakarta Awards yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini Raya, Jakarta Pusat.

Untuk itu, selepas magrib, aku memasuki Taman Ismail Marzuki untuk melihat Akademi Jakarta Awards, penghargaan bagi para seniman. Ruangannya begitu dingin, tidak seperti udara Jakarta yang sangat menyengat. Kulihat di beberapa sudut tempat duduk beberapa tokoh nasional seperti Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah), Slamet Abdul Syukur (pemusik kontemporer), dan masih banyak lagi yang aku sendiri tidak kenal termasuk para wartawan harian nasional seperti Republika dan Tempo. Memang tidak ada wajah-wajah artis yang selama ini menjadi idola publik. Barang kali, teman-teman ini sedang bersilaturahmi ke AMI Awards untuk bersiap menerima penghargaan atau hanya sekedar menonton.

Sebelum acara penghargaan dimulai, Taufiq Ismail, sang maestro, berkesempatan untuk menyampaikan pidato kebudayaan. Sesuatu yang aku sangat tunggu dari manusia yang mempunyai integritas ini. Tidak seperti kuliah yang membuatku terbiasa mencatat dengan pena, aku cukup menyimaknya dan mencatatnya dalam hati. Kulirik kanan-kiri, tampaknya beberapa orang sudah tampak keasyikan dengan udara dingin ruangan.

Beginilah kiranya isi pidato Taufiq Ismail yang syarat makna namun minim publikasi. “Indonesia dikepung Gerakan Syahwat Merdeka. Gerakan Syahwat Merdeka ini tidak bersosok organisasi resmi, dan jelas tidak berdiri sendiri. Tetapi, bekerja bahu-membahu melalaui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa mendanainya. Ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media massa cetak dan elektronik menjadi pengeras suaranya.”

Sesaat setelah itu, ruangan teater (Teater Kecil TIM) terdiam. Banyak orang tersentak, bahkan ada yang mengambil buku catatan kecil untuk mencatat pidato sang maestro. Ada juga yang bergumam panjang. Tapi, pidato ini belum selesai. Taufiq Ismail kemudian meneruskan pidatonya dengan menjelaskan siapa saja yang menjadi komponen syahwat merdeka tersebut. Setidaknya ada 13 pihak yang mendukung fanatik gerakan ini.

Yang pertama adalah praktisi yang sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok seks bebas hetero dan homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. Kedua, para penerbit majalah dan tabloid mesum yang telah menikmati tiada perlunya SIUPP. Ketiga, produser, penulis skrip, dan pengiklanan televisi. Taufiq Ismail mengatakan: “Semua orang tahu betapa ekstensifnya pengaruh layar kaca. Tayangan televisi rata-rata ditonton oleh 170 juta pemirsa. Untuk situs porno kini tersedia 4,2 juta di dunia dan 100 ribu di layar internet Indonesia. Untuk mengaksesnya malah tanpa biaya, sama mudahnya dilakukan baik dari Fransisco sampai maupun Klaten (kasus adegan mesum yang dilakukan oleh oknum PNS Klaten-red.).”

Keempat, penulis, penerbit, dan propagandanis buku-buku sastra dan bukan sastra. Di Malaysia, penulis mencabul-cabulkan karyanya adalah adalah penulis pria. Di Indonesia, penulis yang asyik menulis wilayah ‘selangkangan dan sekitarnya’ mayoritas perempuan. Taufiq mengungkapkan ada kritikus Malaysia berkata jika pengarang Indonesia berani-berani dan tidak memiliki rasa malu.

Kelima, penerbit dan pengedar komik cabul. Keenam, produsen VCD/DVD porno. Ketujuh, pabrik alkohol. Kedelapan, produsen, pengedar, dan pengguna narkoba. Kesembilan, pabrikan, pengiklan, dan pengisap rokok. Menurutnya, hal ini dilatarbelakangi kenyataan dalam masyarakat permisif, interaksi antara seks, narkoba, dan nikotin akrab sekali.

Kesepuluh, para pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan. Kesebelas, germo dan pelanggan prostitusi. Keduabelas, dukun dan dokter praktisi aborsi. Taufiq mengatakan: “Bayangkan data menunjukkan angka aborsi di Indonesia mencapai 2,2 juta setahun. Maknanya, setiap 15 detik seseorang calon bayi di suatu tempat di negeri kita meninggal di suatu tempat akibat dari salah satu atau gabungan faktor-faktor di atas.”

Masih menurut Taufiq, hilangnya rasa malu itu kemudian tercermin dalam gemuruh-gelombang penolakan RUU Pornografi dan Pornoaksi. Pihak ini yang kemudian disebut Taufiq Ismail sebagai pihak ketigabelas. Pada satu sisi memang masih ada kekurangannya. Salah satu kekurangan RUU ini yang perlu ditambah dan disempurnakan adalah perlindungan terhadap 60 juta anak-anak Indonesia. Di Amerika Serikat, anak-anak di sana dilindungi (paling tidak) dengan enam undang-undang, adapun di Indonesia masih nol.

Setelah pidato kebudayaan yang penuh makna itu, acara penghargaan kepada tiga orang yang berkiprah dalam seni dan humaniora dimulai. Para penerima penghargaan itu adalah Amir Pasaribu (bidang seni kreatif musik), Soejono R. P. (bidang arkeologi), dan Tengku Nasyaruddin S. Effendi (bidang kajian sastra). Terlepas dari kontroversi pemenang seperti yang terjadi di AMI Awards dan FFI, Akademi Jakarta Awards tampak begitu tenang, setenang ketidaktahuan banyak orang akan acara ini. Para juri di acara Akademi Jakarta Awards adalah Syu`bah Asa dan kawan-kawan. Menurut Syu`bah, penghargaan ini untuk karya-karya besar dan tanpa malam seperti ini mereka kurang terkenal.

Aku jadi berpikir sejenak, jika memang musik dan film adalah bagian dari seni, AMI dan FFI telah menjadi raksasa. Adapun Akademi Jakarta yang notabene sesepuh dari seni tampaknya mulai terlupakan oleh publik.

Mengulang kembali tentang pelaku keempat Gerakan Syahwat Merdeka, yaitu penulis, penerbit, dan propagandanis buku-buku sastra dan bukan sastra; aku jadi teringat beberapa novel yang telah aku baca. Ternyata pikiranku selama ini tidak salah, karena novelnya sendiri itu yang salah. Menurut N. H. Dini, dirinya sampai tidak kuat membaca sebuah novel yang pernah mendapatkan penghargaan karya sastra. Dia bertanya mengapa novel tersebut dapat penghargaan karena tidak ada bagusnya sama sekali.

Memang, banyak karya sastra yang sangat populer tetapi tidak syarat makna dan mutu. Erotisme dan pornografi dianggap karya seni, penulis pun kehabisan ide untuk mengeksplorasi realitas luhur rakyat bernurani. Malu rasanya jika harus membandingkannya dengan karya Pramoedya Ananta Toer atau Ahmad Tohari. Sastra bukanlah hanya rangkaian kata-kata indah, tetapi lebih kepada pengungkapan nilai-nilai moral dan nurani yang tinggi.