Friday, August 04, 2006

Gajian, Perlukah Menunggu Waktu


Wisuda bagi setiap orang menimbulkan ekspresi yang berbeda-beda. Bagi kebanyakan mahasiswa, momen ini adalah momen yang begitu luar biasa, tak terkecuali bagi para orang tua mereka (bagi yang masih hidup). Sampai-sampai ada yang berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencari "PW" alias pendamping wisuda meskipun statusnya kontrakan. Tidak aneh memang, jika di akhir setiap perjuangan akan menghasilkan kesedihan atau kebahagian. Yang membedakannya adalah apakah ada rasa syukur atau tidak. Begitu pun dengan wisuda merupakan salah satu bentuk nyata dari perjuangan hidup. Yah bagi banyak orang kuliah adalah perjuangan dengan berbagai ragam versinya: apa karena perjuangan nilai, harta, harga diri, dan sebagainya
Sekarang saya sudah melewati masa itu -4 Maret 2006- dan beralih di masa lainnya. Tidak mudah untuk mencatutkan keinginan dengan realita; yang paling tidak mudah adalah mencoba mensejajarkan keinginan kita dengan omongan sekitar. Seringkali saya dengar dari teman-teman sekitar: "Kerja dimana Luh? Kok ga ngelamar ke BI?" atau dengan ucapan senada tetapi dengan frasa yang berbeda "Kok kerja disana? Gajinya kan ga seberapa? Kapan nikahnya dong?"
Diorama pemikiran manusia yang berbeda memang seringkali menampilkan sisi konflik yang cantik. Dalam kaitan kerja, ternyata kita mempunyai visi yang berbeda. Dalam kaitan idealisme, kita pun berbeda. Waktu yang kita gunakan pun berbeda, setiap orang melangkah karena benturan visi dan realita. Waktulah yang akan mempertemukan mereka berdua apakah memang jodoh atau tidak.
Bagi saya sendiri idealisme itu memang penting, hanya harus menginjak ke bumi. Memang sementara waktu saya tidak seperti kebanyakan orang, kerja dan dapat uang. Uang saya dapat belum seberapa, yah paling masih bisa dicicil untuk ditabung di BMI sekalian untuk modal ke depan.Lantas apakah gajian merupakan esensi dari kerja? Tidak rupanya, gajian adalah penghargaan bagi hasil kerja itu sendiri. Tetapi yang pasti saya pun tidak mau menjadi orang yang tidak bergaji. Bukankah ketika kita berangkat kerja yang halal dan dihadang Malaikat Izrail akan gugur sebagai syuhada? Saya pun punya rencana untuk memperoleh itu pada saatnya, menunggu momentum yang tepat. Saya harap saya tidak terlambat untuk gajian, karena pada saat ini saya berada pada sektor yang kebanyakan mahasiswa tidak suka -asisten departemen/prodi- yang katanya tidak banyak menghasilkan uang. Saya pikir saya tidak terlambat dalam gajian karena memulai pada titik yang berbeda. Saya pun menginginkan titik yang sama pada nantinya, bahkan menyalipnya. Karena idealisme bukan jangka pendek, ia hanya bertindak sebagai penuntun terhadap perubahan realita.
Terus, ada lagi yang masih bertanya: "Kapan nikahnya kalau gitu? Kan gajinya belum besar". Pertanyaan yang sangat wajar saya pikir. Hanya bukan masalah besarnya gaji yang menjadi titik temu yang bijak, namun cukupkah gaji itu untuk memulai modal berkeluarga dan seberapa pintarkah kita menginvestasikannya. Saya pikir, pada saatnya nanti entah besok atau kapan juga, saya tidak mau melantarkan teman hidup saya itu demi ego yang berlebihan. Yang terpenting kan membangun komunikasi lintas antara saya dan dia, karena saya yakin inilah tahapan saya memulai kehidupan pasca kampus.

2 comments:

Rachmawati said...

hmm...

nikah tidak berkorelasi dengan gaji.... Don't you think so? ;)

pupuk organik said...

pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik