Friday, December 01, 2006

Dimanakah Posisi Guru? (Bagian 2 dari 2 Bagian)

Pendidikan dasar dan menengah memang berat, siswa diharuskan mengetahui semua ilmu dasar yang ada di bumi ini. Kalau bisa dibilang, siswa Indonesia merupakan salah satu yang banyak tahu tentang ilmu dasar. Tidak heran, banyak siswa SD yang akhirnya menjadi terlalu serius di usianya yang seharusnya menjadi usia untuk bermain sambil belajar. Untuk guru SD, yang kebanyakan sekolah di Indonesia mempunyai 1 orang guru di kelas, tentunya menguasai keseluruhan ilmu dasar untuk diajarkan kepada anak didiknya merupakan tugas yang berat.
Tugas ini menjadi semakin berat dengan tidak didukungnya penghargaan yang layak kepada guru dari pemerintah. Tidak heran, dari guru SD sampai SMA ada yang memberikan les privat di luar jam sekolah untuk mendapatkan penghasilan tambahan atau agar peserta didik dapat mengerti lebih baik.
Namun, tidak sedikit guru yang akhirnya menjadikan tugasnya sebagai totalitas pengorbanan. Pernah melihat film ‘GIE’? Dalam sebuah adegan di film tersebut, Gie terlibat diskusi hebat dengan gurunya dan pada akhirnya berujung pada ketidaksepakatan Gie pada gurunya. Pada saat ujian, Gie merasa dikerjai oleh gurunya dan kemudian mengadu kepada kepala sekolah. Karena respon yang didapat tidak sesuai, Gie ingin memberi pelajaran bagi sang guru tersebut. Diam-diam Gie dan sahabat karibnya mengikuti sang guru yang sedang menuju perjalanan pulang ke rumahnya untuk memberikan pelajaran. Tetapi pada akhirnya, ia mengurungkan niatnya karena ternyata sesampai gurunya di rumah, sang guru disambut hangat oleh anaknya yang masih kecil di sebuah gubuk yang reot. “Ironis, nasib guru ini. Di sekolah tampak begitu keras dan sangar, di rumah tampak sebagai seorang pejuang keluarga yang sangat sederhana. Bagaimana aku bisa memberikan pembalasan padanya, padahal ia sendiri adalah seorang pahlawan”, begitulah kira-kira kata Gie dalam hati di film tersebut.
Jika mau jujur, berapa banyak orang yang akan memilih menjadi guru di negeri ini sebagai pilihan pertama profesinya? Dengan melihat tingkat kesejahteraan yang didapatkan dan kewajiban yang diberikan, tampaknya hanya segelintir orang yang mau dengan ikhlas menjadi seorang guru.
Tuntutan pemerintah untuk menaikkan HDI (human development index) manusia Indonesia tidak hanya terletak pada peningkatan mutu perguruan tinggi, tapi juga pada mutu pendidikan dasar yang dimulai dari SD. Tanpa pembentukan anak Indonesia yang berpendidikan, tentunya tidak akan menghasilkan input bagi SDM perguruan tinggi yang berkualitas.
Ada lagi isyu yang hangat dan pernah dilontarkan pemerintah yaitu bahwa jumlah guru yang dirasa masih kurang. Namun, di lain sisi pengangkatan guru untuk menjadi pegawai negeri merupakan perkara yang sulit. Hal ini diperparah dengan mengangkat guru kontrakan sebagai jalan keluarnya. Mau tahu gaji seorang guru kontrakan? Jangan kaget! Rp 5.000,- per jamnya. Para mahasiswa ITB saja jika memberikan les privat adalah minimal sebesar Rp 20.000,- per 2 jam. Anda tentunya bisa membayangkan, akan makan apa dengan penghasilan seperti itu.
Tidak heran, banyak terjadi demonstrasi menuntut kejelasan status guru kontrakan akhir-akhir ini. Karena guru pun manusia yang mempunyai keluarga untuk dihidupi. Jika Anda bilang, guru tidak pantas berdemo. Apakah Anda akan berani bilang bahwa guru tidak pantas hidup? Guru berdemo hanya sekedar memperjuangkan haknya yang paling dasar-hak untuk tetap bertahan hidup.
Baiklah, bila pemerintah masih dalam tahap merancang bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus kesejahteraan guru; Harian Umum Republika dan PT Telkom Tbk melalui CSR (coorporate social responbility) sudah melakukan usaha konkrit untuk meningkatkan kapasitas guru melalui pelatihan-pelatihannya. Pelatihan-pelatihan yang diharapkan mampu meningkatkan kapasitas keseluruhan seorang guru (pada tulisan sebelumnya, disebutkan bahwa kapasitas akademik guru sudah dibatasi). Guru bukan hanya milik pemerintah, tetapi juga milik sektor swasta; karena para pengusaha pun lahir dari seorang guru. Oleh karena itu, inisiatif yang telah dimulai, sekiranya perlu diikuti oleh pihak swasta lainnya. Jika seorang siswa sudah menjadi seorang engineer, dokter, pengusaha, atau bahkan presiden. Guru tetaplah menjadi seorang guru. Maka, memang layaklah ia disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

4 comments:

agung said...

Oh iya yang kegiatan CSR Republika itu tahu saya. Bagus.. bagus..

Masalah guru, mengambil kesimpulan dari polling, sebenernya bukan cuma masalah gaji. Ada masalah kompetensi dan yang lainnya juga di sana.

Buat pemerintah, solusinya naikkan anggaran pendidikan. Buat masyarakat, solusinya adalah sadar bahwa ilmu itu adalah sesuatu yang harus dibagi (kalau yang ini saya jadi inget tulisan Kronika tentang pendidikan)

Wallahu'alam

Rachmawati said...

Ntah ada apa dengan pemerintah Indo... kenapa budget pendidikannya masih tanggung begitu... 8-|

pupuk organik said...

pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik

pupuk organik said...

pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik