Friday, August 04, 2006

Bandung Love Story


Seperti layaknya film Tokyo Love Story, ternyata Kota Bandung tidak kalah dahsyatnya dalam menampilkan sisi tersebut. Memang bedanya, Tokyo Love Story difilmkan dan menjadi sesuatu yang pernah sangat diminati. Bandung, hampir sama melalui film ‘Jomblo’nya yang terlalu menyederhanakan makna cinta.
Bagi saya, film kehidupan di Bandung inilah yang menjadikannya tetap hidup. Bukan untuk dikatakan dan dipublikasikan, hanya untuk dirasakan alirannya. Bila saya adalah udara, cinta adalah anginnya; bila saya adalah air laut, cinta adalah ombaknya -begitulah definisi yang coba disederhanakan oleh Anis Matta.
Memang sesuatu yang berharga dan indah seringkali harus disembunyikan, bukan dilupakan, hanya untuk dijaga agar tetap berharga. Some words are better remain unspoken, some feeling are better unsaid. Saya tidak percaya pada yang namanya jatuh cinta, yang ada adalah belajar untuk mencintai.

Kickback as A Sick Culture


Probably and hopely I had never think it will happen to my life: a beaurocratic corruption. If we ever went into a beaurocratic process where the government's project tender is the main issue, we would hear a familiar word (between consultants and governments): "kickback". I just heard that dirty word today when my boss gave me the project and urged me to make the estimate finance. At the first time I was very angry and couldn't think why such a dirty thing just though like a joke; people can easily forget it as easy as breading.
A kickback is a consultant`s compensation persentage which is given for the government giving the project. This compensation is used for government`s project monitoring and evaluation. So, if a governmet gives a project, the consultant must pay a kickback to the project-given government; the government use this compensation to monitor and evaluate the project. In this normative definition, kickback is not wrong; but, in many Indonesian cases, this definition doesn't connect with the implementation itself.
In Japan, we can also find the kickback. But, there is a on-legal-paper agreement between the government and the consultant. And, ofcourse, the kickback is used as same as the definition that I have mentioned above. In Indonesia, kickbacks are not (have been not) written on a legal paper; the government and the consultant just take this kind of attitude that have been becoming an Indonesia sick culture –who have been always claiming that have the most moslems population (in term of quantity) in this planet. About the amount of compensation`s percentage? Ofcourse, it depends on the agreement of the government and the consultant. If the money were not used for government`s monitoring and evaluation, what would it used for? This money, in Indonesia cases, is used to make the final project presentation presented by the consultant easier. The government who gives the project and is gained a kikback makes a non-tention-pressure condition when the consultant presents its project result. And as you have imagined before, the government`s little-project-evaluation team don`t do its duty to give feedback to the consultant`s final project presentation.
The conclusion is that the quality of projects in Indonesia should be questioned again because of its beaurocratic corruption called the kickback. Not every Indonesian government do this thing, for example: Fadel Muhammad, Gorontalo leader, returned the kickback back to his citizien. Although many leaders do not do the same thing, I hope a few leaders make a great impact to this country with kicking out dirty governments away.
-Thanks for the discussion bro, I hope we will have a great time together and make a great change in this country-

Gajian, Perlukah Menunggu Waktu


Wisuda bagi setiap orang menimbulkan ekspresi yang berbeda-beda. Bagi kebanyakan mahasiswa, momen ini adalah momen yang begitu luar biasa, tak terkecuali bagi para orang tua mereka (bagi yang masih hidup). Sampai-sampai ada yang berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencari "PW" alias pendamping wisuda meskipun statusnya kontrakan. Tidak aneh memang, jika di akhir setiap perjuangan akan menghasilkan kesedihan atau kebahagian. Yang membedakannya adalah apakah ada rasa syukur atau tidak. Begitu pun dengan wisuda merupakan salah satu bentuk nyata dari perjuangan hidup. Yah bagi banyak orang kuliah adalah perjuangan dengan berbagai ragam versinya: apa karena perjuangan nilai, harta, harga diri, dan sebagainya
Sekarang saya sudah melewati masa itu -4 Maret 2006- dan beralih di masa lainnya. Tidak mudah untuk mencatutkan keinginan dengan realita; yang paling tidak mudah adalah mencoba mensejajarkan keinginan kita dengan omongan sekitar. Seringkali saya dengar dari teman-teman sekitar: "Kerja dimana Luh? Kok ga ngelamar ke BI?" atau dengan ucapan senada tetapi dengan frasa yang berbeda "Kok kerja disana? Gajinya kan ga seberapa? Kapan nikahnya dong?"
Diorama pemikiran manusia yang berbeda memang seringkali menampilkan sisi konflik yang cantik. Dalam kaitan kerja, ternyata kita mempunyai visi yang berbeda. Dalam kaitan idealisme, kita pun berbeda. Waktu yang kita gunakan pun berbeda, setiap orang melangkah karena benturan visi dan realita. Waktulah yang akan mempertemukan mereka berdua apakah memang jodoh atau tidak.
Bagi saya sendiri idealisme itu memang penting, hanya harus menginjak ke bumi. Memang sementara waktu saya tidak seperti kebanyakan orang, kerja dan dapat uang. Uang saya dapat belum seberapa, yah paling masih bisa dicicil untuk ditabung di BMI sekalian untuk modal ke depan.Lantas apakah gajian merupakan esensi dari kerja? Tidak rupanya, gajian adalah penghargaan bagi hasil kerja itu sendiri. Tetapi yang pasti saya pun tidak mau menjadi orang yang tidak bergaji. Bukankah ketika kita berangkat kerja yang halal dan dihadang Malaikat Izrail akan gugur sebagai syuhada? Saya pun punya rencana untuk memperoleh itu pada saatnya, menunggu momentum yang tepat. Saya harap saya tidak terlambat untuk gajian, karena pada saat ini saya berada pada sektor yang kebanyakan mahasiswa tidak suka -asisten departemen/prodi- yang katanya tidak banyak menghasilkan uang. Saya pikir saya tidak terlambat dalam gajian karena memulai pada titik yang berbeda. Saya pun menginginkan titik yang sama pada nantinya, bahkan menyalipnya. Karena idealisme bukan jangka pendek, ia hanya bertindak sebagai penuntun terhadap perubahan realita.
Terus, ada lagi yang masih bertanya: "Kapan nikahnya kalau gitu? Kan gajinya belum besar". Pertanyaan yang sangat wajar saya pikir. Hanya bukan masalah besarnya gaji yang menjadi titik temu yang bijak, namun cukupkah gaji itu untuk memulai modal berkeluarga dan seberapa pintarkah kita menginvestasikannya. Saya pikir, pada saatnya nanti entah besok atau kapan juga, saya tidak mau melantarkan teman hidup saya itu demi ego yang berlebihan. Yang terpenting kan membangun komunikasi lintas antara saya dan dia, karena saya yakin inilah tahapan saya memulai kehidupan pasca kampus.