Saturday, December 23, 2006

Indonesia dan Qatar


Apa hubungan Indonesia dengan Qatar? Tidak ada hubungan yang sangat-sangat erat antarkeduanya se-erat panasnya Indonesia-Israel atau se-erat hubungan ‘kawin kontrak’ Indonesia-Amerika Serikat.

Sejenak jika menengok balik pada Piala Asia (sepakbola) tahun 2004, tim nasional Indonesia yang saat itu dilatih oleh Ivan Venkov Kolev menghempaskan tim nasional Qatar 2-1 lewat gol yang dilesakkan oleh Budi Sudarsono dan Ponaryo Astaman. Asia tersentak, karena pada waktu itu Qatar diunggulkan dan pelatih mereka adalah seorang yang sudah mempunyai nama besar, Philippe Trousier si Dukun Putih dari Perancis. Saat itu juga, Philippe Troussier mundur karena kekalahan yang sangat memalukan. Kamp pelatihan timnas Indonesia yang tadinya sepi wartawan, sontak menjadi rebutan para kuli tinta. Pertanyaan pun mengalir seputar pertandingan berikutnya (melawan Cina dan Bahrain). Cina pun sempat dibuat angkat bicara tentang timnas Indonesia pasca kemenangan yang mengguncang tersebut. Begini kata sang Negeri Tirai Bambu: “kami pikir tim nasional Indonesia sudah mengalami kemajuan dibandingkan saat kami terakhir melawannya (di Pra-Piala Dunia 2002) dan kami patut waspada”. Pujian yang luar biasa mengingat prestasi persepakbolaan Cina di Asia selama ini.

Tetapi fakta berbicara lain, Indonesia tetap seperti orang yang baru belajar main bola di hadapan pemain Cina, bukan karena skill individunya yang terlampau jauh tetapi lebih kepada gap mental antarkedua tim yang sangat mencolok. Di awal pertandingan, kedua tim berimbang. Mental, inilah yang kemudian menjadi permasalahan utama. Bukan hanya mental saat pertandingan, tetapi juga mental untuk menjadi lebih baik lagi.

Salah satu omongan yang membuktikan bahwa timnas Indonesia tidak mempunyai mental kemenangan adalah ucapan Bambang Pamungkas (striker timnas saat itu). Seorang wartawan tabloid olahraga menanyakan kepada Bambang perihal jadwal pernikahannya yang jatuh tepat pada hari digelarnya final Piala Asia 2004. Kata Bambang: “Saya memilih hari pernikahan tepat di hari diselenggarkannya final Piala Asia karena saya tahu Indonesia tidak mungkin lolos ke final Piala Asia”.

Maaf, jangan berbicara kemenangan jika niat kesana pun tidak ada. Pada akhirnya memang Indonesia tidak ‘jadi’ lolos ke babak berikutnya.

Berbicara pada isyu paling aktual tentang Qatar tentunya berbicara tentang Asian Games Doha (Qatar) 2006 yang baru saja ditutup. Acara yang menurut kalangan menampilkan opening terbaik, lebih baik dari Olimpiade Sydney yang lalu.

Berbeda dengan pertandingan sepakbola Indonesia-Qatar yang berakhir 2-1, Indonesia-Qatar jilid II berakhir dengan skor 22 alias Indonesia bercokol di peringkat 22. Tidak ada sentakan publik yang muncul selain nada-nada sumbang.

Dibandingkan dengan sahabatnya di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) Indonesia berada di peringkat ke-6 di bawah Thailand (5), Malaysia (11), Singapura (12), Filipina (18), dan Vietnam (19). Sangat ironis memang jika melihat hegemoni olah raga Indonesia di ASEAN yang hampir selalu (kecuali pada 8 tahun terakhir) menjadi maha raja diraja bersama Thailand.

Indonesia sudah menjadi negara terkorup ke-4 di dunia, apakah Indonesia juga menjadi negara yang paling tidak sehat (jasmaniah) berkaca pada prestasi olah raganya. Kata Farid Poniman dkk dari Kubik Training & Consultancy (dalam bukunya Kubik Leadership), manusia itu membutuhkan 3 (tiga) tingkat kerja, yakni: kerja keras, cerdas, dan ikhlas. Kerja keras harus dilakukan terlebih dahulu sebelum kerja cerdas dan ikhlas. Kerja keras adalah bentuk usaha yang terarah dalam mendapatkan sebuah hasil, dengan menggunakan energinya sendiri sebagai input (modal kerja). Salah satu syarat kerja keras adalah jasmani yang sehat, dan pada saat ini prestasi olah raga Indonesia tidak mencerminkan itu. Bahayanya, tidak optimalnya kerja keras akan mengakibatkan ketidakoptimalan 2 (dua) kerja berikutnya.

Kerja cerdas sendiri didefinisikan sebagai bentuk usaha terarah dalam mendapatkan sebuah hasil dengan menggunakan mesin kecerdasan sebagai daya ungkit prestasinya. Kata Farid Poniman dkk, boleh jadi seseorang itu cerdas tetapi dia tidak bisa bekerja cerdas. Orang cerdas adalah orang yang salah satu belahan otaknya bekerja lebih baik dibandingkan dengan belahan otak yang sama pada kebanyakan orang. Sedangkan orang yang bekerja cerdas adalah yang mampu mempraktikan salah satu kecerdasannya dalam pekerjaan yang sedang ditangani sehingga menghasilkan kualitas kerja yang lebih baik. Dicontohkannya, kalau seseorang selalu membawa segudang alasan kegagalan, maka kecerdasannya dipakai untuk mencari-cari alasan yang sesuai, dan tidak dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan. Bagaimana dengan insan olah raga nasional? Tampaknya kecerdasannya terlalu banyak dipakai untuk mencari alasan-alasan yang sesuai. Jikapun introspeksi, introspeksi yang dilakukan hanya sesaat setelah kegagalan terjadi, setelah itu hilang bak ditelan bumi.

Adapun kerja ikhlas adalah bentuk usaha terarah dalam mendapatkan sebuah hasil dengan menggunakan kesucian hati sebagai manifestasi kemulian dirinya. Jangan dulu sekarang berbicara kerja ikhlas sebelum kedua kerja sebelumnya (kerja keras dan cerdas) dapat terwujudkan dengan baik. Secara singkat belum terwujudnya kerja ikhlas ini jika dibicarakan dalam konteks olah raga nasional adalah belum terwujudnya insan olah raga yang mengatakan: “Saya salah, saya siap bertanggung jawab dan akan berusaha untuk menjadi lebih baik”.

Berbicara budaya, budaya instan pun merambah ke dunia olah raga nasional. Sebelum adanya isyu impor pemain muda Brasil menjadi pemain tim nasional sepakbola Indonesia masa depan, pelatihan timnas U-23 di Belanda yang berlangsung selama 6 bulan pun disebut oleh Foppe De Haan (yang menjadi supervisor timnas Indonesia U-23 selama di Belanda dan Qatar) sebagai budaya instan. Ia menambahkan bahwa dengan target yang sama, De Haan melakukannya bersama timnas Belanda U-21 dan U-23 selama beberapa tahun, bukan 6 bulan.

Pada akhirnya memang, timnas Indonesia U-23 tidak lolos ke babak utama Asian Games Doha 2006 dan dalam babak penyisihan digebuk dengan angka telak kecuali oleh Singapura. Setelah 2 (dua) pertandingan awal yang mencengangkan itu, De Haan mengatakan bahwa wajah pemain timnas Indonesia U-23 tampak sangat gugup. Sekali lagi, mental pemain masih perlu diasah. Baik, inilah salah satu contoh cabang olah raga Indonesia yang belum berprestasi di Asian Games kali ini.

Seperti diketahui bersama, keberangkatan timnas sepakbola Indonesia U-23 menimbulkan pro dan kontra terutama masalah perbedaan kutub antara biaya yang dikeluarkan dan prestasi yang dihasilkan.

Menarik menyimak pernyataan Menegpora Adhyaksa Dault yang menyatakan perlu dibuatnya sistem pembinaan olah raga yang sistematis dan perlunya pengurangan ‘fanatisme’ pembinaan berlebihan pada sepak bola di daerah. Seperti diketahui sepakbola di daerah selama ini menguras APBD dan tentunya menghasilkan trade-off pada pembinaan olah raga potensial lainnya di daerah. Olah raga lainnya perlu mendapatkan tempat lebih wajar sehingga tidak hanya menjadi anak tiri untuk bisa berprestasi. Masih ingat pernyataan Oka Sulaksana, atlet selancar angin, (sebelum keberangkatan ke Qatar) bahwa dana yang diberikan untuk persiapannya sangat minim. Ia pun harus merogoh koceknya sendiri untuk membeli beberapa peralatan penting lainnya yang notabene tidak murah. Padahal, ia ditargetkan untuk mendulang medali emas pada nomor andalannya karena prestasinya selama dua Asian Games terakhir sangat mengagumkan (mendapat medali emas secara beruntun). Sepertinya, alasan kekurangtersediaannya dana tidak bisa menjadi alasan utama jikalau masih saja ada peng-anakemas-an sebuah olah raga tertentu.

Baru-baru ini Komisi X DPR RI akan memanggil Menegpora dan Ketua Umum KONI Pusat sehubungan dengan kegagalan Indonesia di pentas Asian Games Doha 2006. Secara terbuka Menegpora dan Ketua Umum KONI Pusat telah menyatakan kegagalan Indonesia dalam event 4 (empat) tahunan ini. Memang, semua stakeholders harus dilibatkan untuk membina olah raga nasional. Masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah pusat saja, tetapi juga oleh segenap pecinta olah raga, pengusaha, pemerintah daerah, dan stakeholders lainnya.

Keterpurukan Indonesia di bidang olah raga tentunya akan mempengaruhi image Indonesia di mata internasional. Ibarat perusahaan, perusahaan yang memiliki brand image baik tentunya mempunyai daya tarik tersendiri dan yang pasti kepercayaan dari dalam maupun luar negeri. Meminjam istilah Frank Riboud (CEO Groupe Danone saat ini): “Danone must not only be a TRADEMARK but also a TRUSTMARK”. Atau seperti yang dikatakan oleh Marc GobĂ© dalam bukunya Emotional Branding: The New Paradigm for Connecting Brands to People dalam 1 dari 10 Commandements of Emotional Branding disebutkan bahwa harus ada perubahan paradigma dari honesty (kejujuran) ke trust (kepercayaan). Kepercayaan sangat penting harganya dan lebih sulit dari sekedar jujur.

Semoga, introspeksi kali ini akan memunculkan kejujuran-kejujuran dari setiap insan olah raga yang tidak akan lagi hilang ditelan bumi. Kemudian, pada saatnya nanti akan menimbulkan kepercayaan. Pada akhirnya, Indonesia membutuhkan satu visi olah raga yang jelas sehingga setiap stekeholders berjalan di atas rel yang sama dan tidak ada lagi olah raga yang menjadi anak tiri. Semoga warga Indonesia bisa menjadi insan yang sehat sehingga bisa bekerja lebih keras, cerdas, dan ikhlas.

2 comments:

Rachmawati said...

hmm... sepak bola ya...
bingung mu nulis comment apa, :P

pupuk organik said...

pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik